Menjadi Virus positif Learning Community
Seringkali kita mendengar ada perusahaan yang mengirim pegawainya untuk program training atau pelatihan dan selama beberapa minggu setelah itu nampak semangat baru didalam orang yang mengikuti training tersebut. Namun beberapa saat kemudian semangat dan perilaku orang tersebut kembali kekeadaan semula. Ini menarik untuk disimak kenapa ini terjadi. Mari kita asumsikan bahwa trainingnya itu sendiri cukup baik karena buktinya ada perubahan sesaat. Kalau trainingnya jelek pasti para pengikut pelatihan sudah ngomel panjang lebar. Jadi kalau begitu kenapa efek pelatihan hanya sebentar?
Ada dua faktor utama yang perlu kita lihat yaitu faktor internal (dari diri si pembelajar) dan faktor eksternal (lingkungan kerja, beban kerja, atasan,dsb).
Faktor eskternal yang paling sering diajukan adalah karena pengikut pelatihan terjerat kembali ke rutinitas dan workload pekerjaan . Atau faktor X yang lain biasanya adalah atasan dan lingkungan sekerja tidak mendukung . Keterangan ini memang logis dan masuk akal namun tanggung jawab lantas dipikul oleh siapa? Ini sebab atau alasan? Bukankah kita semua bisa mengambil langkah langkah kecil di lingkaran pengaruh kita masing masing. Beban kerja boleh saja banyak tetapi bukankah kita bisa menyisihkan 20-30 menit sehari kalau kita mau? Atasan bisa saja pemarah dan kurang mendukung namun bukankah kita dapat dapat perlahan lahan mendekatinya dengan masukan baru yang tidak "menyudutkannya"?
Yang menarik dari observasi ini adalah kita semua harus sadari kita punya rutinitas dan kejaran target waktu sering membuat kita terperangkap – ekspresi bagusnya "human beings are creatures of habits". Kalau ini tidak dapat "didobrak" maka tarikan kebiasaan lama pasti akan menarik kembali perilaku orang tersebut.
Ada teman main tennis saya suatu hari membuat pernyataan yang menarik. Topiknya waktu itu adalah "mengapa orang suka berzina dan empat tahapannya ". Jawaban pertanyaan pertama adalah karena pada dasarnya memang orang tersebut sudah punya keinginan berbuat demikian dan kemudian dia melalui empat tahapan:
1. merasa bersalah,
2. merasa enak,
3. mengajak teman ,
4. tidak lagi merasa bersalah (karena semua mengerjakannya jadi sudah menjadi "normal") .
Nah, sekarang mari kita balik renungan ini dan memakainya untuk hal yang lebih positif. Mari kita bertanyaan "mengapa orang dapat mendobrak kebiasaan lama mereka dan bagaimana tahapannya?". Jawabannya menjadi sederhana dan kita hanya perlu meniru peryataan rekan saya diatas
. Pertama, "karena pada dasarnya memang orang tersebut sudah punya keinginan untuk berubah". Dan tahapannya? :
1. merasa susah,
2. merasa enak,
3. mengajak teman,
4. tidak lagi merasa susah ((karena semua mengerjakannya jadi sudah menjadi "normal").
Gampang kan ? Buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya! – kata Koes Plus.
Apa lagi yang dapat menahan daya dobrak kita? Bisa saja "tenaga yang harus dikeluarkan untuk mendobrak terlalu besar" atau " lebih nyaman dengan cara lama" . Untuk ini ada lagi pernyataan rekan yang lain yang dapat membantu. Kalau ada peserta pelatihan yang kembali kekondisi semula beberapa minggu setelah programnya mengapa ada peserta yang dapat memakai apa yang dia pelajari secara cepat dan konsisten?.
Menjadi Virus positif Learning Community
Seringkali kita mendengar ada perusahaan yang mengirim pegawainya untuk program training atau pelatihan dan selama beberapa minggu setelah itu nampak semangat baru didalam orang yang mengikuti training tersebut. Namun beberapa saat kemudian semangat dan perilaku orang tersebut kembali kekeadaan semula. Ini menarik untuk disimak kenapa ini terjadi. Mari kita asumsikan bahwa trainingnya itu sendiri cukup baik karena buktinya ada perubahan sesaat. Kalau trainingnya jelek pasti para pengikut pelatihan sudah ngomel panjang lebar. Jadi kalau begitu kenapa efek pelatihan hanya sebentar?
Ada dua faktor utama yang perlu kita lihat yaitu faktor internal (dari diri si pembelajar) dan faktor eksternal (lingkungan kerja, beban kerja, atasan,dsb).
Faktor eskternal yang paling sering diajukan adalah karena pengikut pelatihan terjerat kembali ke rutinitas dan workload pekerjaan . Atau faktor X yang lain biasanya adalah atasan dan lingkungan sekerja tidak mendukung . Keterangan ini memang logis dan masuk akal namun tanggung jawab lantas dipikul oleh siapa? Ini sebab atau alasan? Bukankah kita semua bisa mengambil langkah langkah kecil di lingkaran pengaruh kita masing masing. Beban kerja boleh saja banyak tetapi bukankah kita bisa menyisihkan 20-30 menit sehari kalau kita mau? Atasan bisa saja pemarah dan kurang mendukung namun bukankah kita dapat dapat perlahan lahan mendekatinya dengan masukan baru yang tidak "menyudutkannya"?
Yang menarik dari observasi ini adalah kita semua harus sadari kita punya rutinitas dan kejaran target waktu sering membuat kita terperangkap – ekspresi bagusnya "human beings are creatures of habits". Kalau ini tidak dapat "didobrak" maka tarikan kebiasaan lama pasti akan menarik kembali perilaku orang tersebut.
Ada teman main tennis saya suatu hari membuat pernyataan yang menarik. Topiknya waktu itu adalah "mengapa orang suka berzina dan empat tahapannya ". Jawaban pertanyaan pertama adalah karena pada dasarnya memang orang tersebut sudah punya keinginan berbuat demikian dan kemudian dia melalui empat tahapan:
1. merasa bersalah,
2. merasa enak,
3. mengajak teman ,
4. tidak lagi merasa bersalah (karena semua mengerjakannya jadi sudah menjadi "normal") .
Nah, sekarang mari kita balik renungan ini dan memakainya untuk hal yang lebih positif. Mari kita bertanyaan "mengapa orang dapat mendobrak kebiasaan lama mereka dan bagaimana tahapannya?". Jawabannya menjadi sederhana dan kita hanya perlu meniru peryataan rekan saya diatas
. Pertama, "karena pada dasarnya memang orang tersebut sudah punya keinginan untuk berubah". Dan tahapannya? :
1. merasa susah,
2. merasa enak,
3. mengajak teman,
4. tidak lagi merasa susah ((karena semua mengerjakannya jadi sudah menjadi "normal").
Gampang kan ? Buat apa susah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya! – kata Koes Plus.
Apa lagi yang dapat menahan daya dobrak kita? Bisa saja "tenaga yang harus dikeluarkan untuk mendobrak terlalu besar" atau " lebih nyaman dengan cara lama" . Untuk ini ada lagi pernyataan rekan yang lain yang dapat membantu. Kalau ada peserta pelatihan yang kembali kekondisi semula beberapa minggu setelah programnya mengapa ada peserta yang dapat memakai apa yang dia pelajari secara cepat dan konsisten?.
Apa yang membedakan mereka? Rekan saya waktu itu mengatakan : "Indonesians come to study – westerners come to apply" – orang Indonesia datang ke pelatihan untuk belajar sedangkan orang barat untuk menerapkan apa yang mereka pelajari. OK, mari kita cabut unsur kewarganegaraan dalam pernyataan ini agar supaya azas praduga tak bersalah terhadap warga negara bangsa Indonesia dapat kita junjung tinggi tinggi. Pada dasarnya observasi ini menyatakan bahwa ada orang yang datang ke pelatihan untuk mendapat ilmu baru saja sedangkan ada orang yang datang dengan tujuan untuk menerapkan ilmu yang mereka dapatkan. Hasilnya bisa kontras sekali . Yang datang untuk belajar saja kalau sudah tidak dalam ruang kelas akan lupa. Yang datang untuk mendapat ilmu yang akan diterapkan akan selalu ingat karena dia senantiasa hidup dalam "laboratorium" kehidupannya yang berjalan terus menerus. Ini yang membedakan antara student dan learner – pelajar dan pembelajar. Pelajar sering terdorong untuk hasil jangka pendek seperti angka yang baik , dapat bahan pemikiran yang menarik atau paling parah "dapat sertifikat pelatihan". Sedangkan pembelajar akan senantiasa melihat kegunaan dan aplikasi jangka panjang dimana dia harus menimba ilmu terus menerus dan menularkannya kepada orang lain.
Dan inilah esensi sebuah "Learning Community"- tempat dimana setiap insan didorong dan mendorong sesama rekannya untuk berbagi pemikiran dan saling membantu dalam menerapkan ilmu yang mereka terima. Sekarang silahkan lihat sekitar anda, dikantor maupun dirumah "apakah lingkungan anda sebuah Learning Community"? .
Ciri khasnya gampang dilihat. Apakah pembicaraan sering berbicara mengenai hal hal yang baru atau hanya hal hal yang sudah kita terbiasa saja? Apakah orang dikasih waktu untuk mengembangkan diri secara cukup. Perusahaan tertentu mencanangkan minimal dua minggu dalam satu tahun agar setiap anggauta perusahaan tersebut ikut pelatihan atau kegiatan pembelajaran lainnya. Kalau lingkungan anda sudah menunjang teruskan support anda untuk terus mengembangkannya. Kalau lingkungan belum menunjang, anda sekarang mendapat kesempatan untuk memulainya ! Akhirnya akan hilang alasan kita bahwa kita tidak mengerjakan sesuatu karena adanya faktor X lingkungan . Buatlah lingkungan anda menjadi sebuah "Learning Community" dan pakailah ilmu baru diatas "susah > enak > ajak teman > tidak lagi merasa susah" dan kita semua akan terbawa olehnya!
Selamat menjadi virus positif!
About Me
- inirezha
- Yeah. It's abot me,, Perkenalkan saia rezha, panggil aja gitu,,, seorang siswa yang menimba ilmu di SMA Negeri 1 KEBOMAS, just an ordinary boy
0 orang baik yang mau koment: